Selasa, 10 Agustus 2010

Tiga Halaman Terakhir yang Tertunda

Menurut seorang penulis, gaya penulisan seseorang, khususnya dalam penulisan karya fiksi, sangat dipengaruhi oleh karya yang sering ia baca, oleh karya yang membuatnya terkesan, atau oleh karya yang pertama ia baca. Karenanya, bila seseorang sering membaca fiksi "serius" dan bermutu, biasanya sewaktu membuat karya fiksi pun, dia akan menghasilkan karya fiksi "serius" dan bermutu. Begitu, menurutnya.

Ungkapan penulis ini membuat pikiranku kembali diajak-ajak untuk mengingat-ingat karya fiksi yang pertama aku baca, yang mampu memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap gaya penulisan fiksi yang aku buat.

Sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku kerap mencuri-baca majalah-majalah milik kakak perempuanku, di antaranya Anita Cemerlang, Mangle, Femina, dan Gadis. Malam hari menjelang tidur atau di kala rumah tengah sepi, sering kali aku tenggelam dalam asyiknya membaca karya fiksi yang dimuat di majalah-majalah tersebut. Ada beberapa judul fiksi dan sejumlah penulis yang berkesan dan masih aku ingat sampai sekarang. Di antara penulis yang masih aku ingat: Eddy D. Iskandar, Yus Rusyana, Fitri, Min Resmana, Ki Umbara, Saini K.M., Ajip Rosidi, Usman, Gola Gong, dan Pipiet Senja. Ketiga nama terakhir menambah kesan tersendiri bagiku karena sewaktu aku menjadi manajer redaksi di sebuah penerbit, aku justru yang menilai kelayakan terbit naskah mereka untuk diterbitkan.

Cerpen “Laut Biru Langit Cangra” dan “Di Dieu Hate Reureuh” yang dimuat di majalah Mangle dan cerpen “Kelinci Putihku” yang dimuat di majalah Anita Cemerlang masih aku ingat.

Aku teringat akan novel yang pertama aku baca. Aku membacanya sewaktu masih duduk di bangku SD di awal tahun 80-an. Novel yang sebenarnya milik pamanku itu berjudul Tiada Musim Gugur di Sini karya Purwono, yang diterbitkan oleh penerbit Sinar Pelangi, Bandung pada tahun 1978. Purwono ini seangkatan dengan Edy D. Iskandar yang menulis novel Gita Cinta dari SMA yang kemudian dijadikan film yang terkenal pada zamannya dan melambungkan nama Rano Karno dan Yessy Gusman.

Setelah sekian tahun dari pertama aku membaca novel Tiada Musim Gugur di Sini sampai hari kemarin, aku masih penasaran akan akhir cerita (ending) novel tersebut karena tiga halaman terakhir dari novel milik pamanku itu hilang entah ke mana. Aku coba mencari tahu melalui internet apakah ada orang yang mengetahui novel tersebut dan memiliknya. Akhirnya aku menemukan novel tersebut. Aku segera memesannya dan alhamdulillah mendapatkan respons yang bagus. Kemarin, paket berisi buku tersebut tergeletak di atas meja kerjaku. Aku segera membuka dan membacanya hanya tiga halaman terakhir dari novel tersebut.

Bayangkan saja, rasa penasaranku yang terkubur bertahun-tahun lamanya terhadap tiga halaman terakhir dari novel tersebut terpuaskan hanya dalam waktu kurang lebih satu menit.


Jakarta, 12 Februari 2010


1 komentar:

  1. Saat novel ini pertama beredar, seorang teman sekelas di sma menceritakan ulang isi novel itu. entah karena novel ini bagus, atau mungkin karena gaya bertutur teman itu yang luar biasa, aku sungguh terkesan dengan novel "Tiada Musim Gugur di Sini" ini. Tetapi, sampai sekarang, aku belum pernah lihat dan baca novel karya purwono ini. bahkan baru liat cover-nya setelah buka blog ini....

    Hal yang samar-samar masih kuingat dari cerita teman sma itu adalah ini novel tentang kisah percintaan antar bangsa....

    kalau boleh tau, di mana gerangan kita bisa pesan novel ini? matur nuwun.

    BalasHapus